Selasa, 24 Juni 2025

Apakah Cadangan BatuBara Indonesia Masih Kompetitif di Masa Depan?

Apakah Cadangan BatuBara Indonesia Masih Kompetitif di Masa Depan?
Apakah Cadangan BatuBara Indonesia Masih Kompetitif di Masa Depan?

JAKARTA - Pertanyaan tentang daya saing cadangan batu bara Indonesia di masa depan semakin mengemuka di tengah tren global menuju energi bersih dan transisi energi yang masif. Meskipun Indonesia memiliki cadangan batu bara yang melimpah, sejumlah tantangan mulai mengintai dari sisi konsumsi domestik, regulasi internasional, hingga perkembangan teknologi energi terbarukan.

Menurut data terkini, cadangan batu bara Indonesia diperkirakan masih cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam jangka waktu puluhan hingga ratusan tahun. Namun, faktor konsumsi yang dinamis membuat prediksi ini harus ditinjau ulang dengan lebih cermat. "Pernyataan cadangan batu bara tetap kompetitif perlu digali lebih dalam, terutama terkait asumsi konsumsi. Jika pertumbuhan populasi dan industri terus meningkat, kebutuhan batu bara juga akan bertambah, namun sebaliknya, tren transisi energi akan mengubah lanskap permintaan," jelas Deon Arinaldo, Manajer Program Sistem Transformasi Energi di Institute for Essential Services Reform (IESR).

Deon menambahkan, tak semua cadangan batu bara bisa diekstraksi karena letaknya yang sulit dijangkau, sehingga potensi produksi aktual dapat terbatas. Selain itu, kebijakan global yang semakin ketat terhadap emisi karbon dan perdagangan karbon mulai memengaruhi permintaan batu bara, terutama untuk pasar ekspor.

Baca Juga

PLN Dorong Smart Farming dengan Teknologi Listrik

Salah satu kebijakan global yang mendapat perhatian adalah Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang akan diberlakukan Uni Eropa mulai 1 Januari 2026. CBAM adalah mekanisme pengenaan tarif pada barang impor yang memiliki jejak karbon tinggi, termasuk produk industri berat seperti aluminium, besi, baja, semen, pupuk, dan listrik berbasis bahan bakar fosil. "Pengenaan pajak karbon ini akan memaksa industri padat karbon untuk menurunkan emisinya agar tetap kompetitif di pasar Eropa," ujar Deon.

Mengacu pada laporan IESR (2023), tren permintaan ekspor batu bara diperkirakan akan menurun secara signifikan mulai periode 2025 hingga 2030. Hal ini disebabkan oleh pergeseran preferensi energi menuju sumber yang lebih ramah lingkungan dan lebih murah secara biaya.

Dari sisi biaya, batu bara menghadapi tantangan serius. "Pemanfaatan batu bara terancam karena krisis iklim dan peraturan lingkungan yang semakin ketat, ditambah sumber energi terbarukan yang kini bisa menggantikan batu bara dengan biaya lebih murah. Misalnya, rata-rata biaya pembangkitan listrik dari surya dan angin di dunia turun drastis dari 35 sen per kWh pada 2009 menjadi hanya 4 sen per kWh pada 2019. Sementara itu, biaya pembangkitan listrik PLTU batu bara masih berkisar 10,9 hingga 11 sen per kWh," jelas Deon Arinaldo, mengutip data dari Ourworldindata.org (2020).

Meski biaya listrik PLTU batu bara di Indonesia relatif lebih murah, sekitar 4-6 sen per kWh, hal ini disebabkan oleh kebijakan harga batu bara domestik yang dibatasi (Domestic Market Obligation/DMO) pada kisaran USD 70 per ton, serta dukungan regulasi pemerintah dan standar emisi yang belum ketat.

Namun demikian, energi terbarukan, khususnya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), tetap kompetitif. Proyeksi IESR dan Bloomberg New Energy Finance (BNEF) menunjukkan bahwa pada tahun 2027, biaya listrik dari PLTS ditambah kapasitas baterai sebesar 25 persen akan lebih murah dibandingkan membangun PLTU batu bara baru.

Dampaknya, permintaan batu bara untuk pembangkit listrik domestik diperkirakan akan menurun. Bahkan negara tujuan ekspor utama seperti Tiongkok dan India sudah mulai memanfaatkan energi terbarukan dengan biaya yang lebih rendah, sehingga transisi energi menjadi keniscayaan global.

"Kita bisa ibaratkan seperti menjaga taman yang indah, seperti Kebun Raya Bogor. Kita harus membangun pagar dan aturan ketat agar tidak ada yang merusak dengan polusi atau emisi tinggi. Begitu pula dengan negara-negara dunia yang mulai menjaga lingkungan dan mengatur barang impor agar memiliki jejak karbon rendah. Ini akan berdampak pada industri batu bara yang harus beradaptasi atau menghadapi penurunan permintaan yang tajam," jelas Deon saat menjelaskan kepada berbagai kalangan.

Kesimpulannya, meskipun cadangan batu bara Indonesia masih besar, daya saing batu bara di pasar global dan domestik menghadapi tekanan kuat dari kebijakan transisi energi dan ekonomi karbon rendah. Pemerintah dan pelaku industri perlu bersiap dengan strategi adaptasi, inovasi teknologi, dan diversifikasi energi untuk menjaga keberlanjutan sektor batu bara sekaligus mendukung agenda lingkungan.

Nathasya Zallianty

Nathasya Zallianty

Insiderindonesia.com adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.

Rekomendasi

Berita Lainnya

Techno Camon 60 vs Poco M6 Pro: Perbandingan Terbaik di Kelas Mid-Range 2025

Techno Camon 60 vs Poco M6 Pro: Perbandingan Terbaik di Kelas Mid-Range 2025

5 Film Netflix yang Banyak Ditonton di Indonesia: Rekomendasi dan Penilaian Berdasarkan Rating Penonton Terbaru

5 Film Netflix yang Banyak Ditonton di Indonesia: Rekomendasi dan Penilaian Berdasarkan Rating Penonton Terbaru

Pengertian Zona Ekonomi Eksklusif: Delimitasi hingga Fungsi

Pengertian Zona Ekonomi Eksklusif: Delimitasi hingga Fungsi

Mengenal Ragoon U9: Perangkat Canggih dengan Fitur Inovatif

Mengenal Ragoon U9: Perangkat Canggih dengan Fitur Inovatif

Mengenal Beberapa Penyebab Keputihan Berwarna Coklat

Mengenal Beberapa Penyebab Keputihan Berwarna Coklat