Selasa, 24 Juni 2025

Potensi Panas Bumi Indonesia dan Tantangan Pengembangannya

Potensi Panas Bumi Indonesia dan Tantangan Pengembangannya
Potensi Panas Bumi Indonesia dan Tantangan Pengembangannya

JAKARTA - Indonesia merupakan pemilik cadangan panas bumi terbesar di dunia dengan potensi mencapai 23,7 gigawatt (GW) atau sekitar 40% dari total cadangan global. Angka ini jauh melampaui Amerika Serikat yang hanya memiliki cadangan 15 GW (25%). Meski demikian, kapasitas pembangkit listrik panas bumi (PLTP) terpasang AS masih yang terbesar dengan 3,9 GW, sedangkan Indonesia menempati posisi kedua dengan kapasitas sekitar 2,65 GW.

Peningkatan kapasitas PLTP nasional telah didorong dengan penambahan sekitar 1,2 GW selama periode 2014-2024. Salah satu proyek yang segera dikomersialisasikan adalah PLTP Lumut Balai sebesar 55 MW yang dikembangkan oleh Pertamina Geothermal Energy (PGE). Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara (PLN) 2025-2034, penambahan kapasitas PLTP ditargetkan sebesar 5,2 GW, sebagai bagian dari upaya meningkatkan bauran energi terbarukan (EBT) nasional.

Dari sudut pandang ekonomi energi, pencapaian 1,2 GW dalam sepuluh tahun terakhir ini dinilai cukup positif dan menggambarkan sinergi antara pemerintah sebagai regulator, pengembang panas bumi sebagai produsen listrik, dan PLN sebagai pembeli utama (off-taker). Namun, pengembangan listrik panas bumi menghadapi tantangan signifikan dalam ekosistem pasar listrik nasional yang berbentuk regulated single buyer market.

Baca Juga

Apakah Cadangan BatuBara Indonesia Masih Kompetitif di Masa Depan?

Menurut teori ekonomi struktur pasar, sektor kelistrikan Indonesia merupakan pasar pembeli tunggal yang diatur oleh pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah memiliki kewenangan menetapkan tarif listrik serta mengalokasikan subsidi listrik melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Besaran subsidi listrik ini menggambarkan selisih antara tarif listrik yang ditetapkan dan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik PLN, yang dipengaruhi oleh pilihan sumber energi primer seperti batubara, minyak, gas, panas bumi, air, surya, dan angin.

Kondisi ini membuat kesepakatan bisnis pengembangan listrik panas bumi menjadi sulit tercapai, sebab PLN sebagai pembeli tunggal cenderung memilih sumber energi dengan BPP lebih murah, seperti batubara atau energi terbarukan lain seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Saat ini, harga listrik dari PLTS rata-rata sudah di bawah 6 sen dolar AS per kWh, jauh lebih rendah dibandingkan listrik panas bumi yang masih di atas 10 sen dolar AS per kWh.

Meski biaya operasi PLTP sebenarnya tergolong rendah, yakni sekitar Rp107 per kWh, jauh di bawah rata-rata biaya operasi pembangkit nasional yang mencapai Rp1.391 per kWh (PLN, 2022), faktor risiko tinggi selama tahap eksplorasi dan pengembangan panas bumi menyebabkan tingkat keekonomian listrik panas bumi menjadi relatif tinggi.

Studi dari LPEM Universitas Indonesia (2023) menunjukkan bahwa tingkat keekonomian listrik panas bumi berkisar antara 11,80 sen sampai 22,77 sen dolar AS per kWh, tergantung kapasitas pembangkit. Sementara itu, Harga Patokan Tertinggi (HPT) listrik panas bumi yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 maksimal hanya 15 sen dolar AS/kWh untuk kapasitas kecil dan 11,5 sen dolar AS/kWh untuk kapasitas lebih besar dari 100 MW.

Perbedaan signifikan antara tingkat keekonomian dan harga patokan ini menciptakan kesenjangan harga yang sulit dijembatani oleh pengembang maupun PLN. Skema feed-in tariff yang diharapkan dapat menjamin kepastian investasi pengembang tidak efektif karena harga patokan masih lebih rendah dari tingkat keekonomian pengembang.

“Kesepakatan jual beli listrik panas bumi sangat bergantung pada willingness to buy dari PLN, yang selama ini tidak sepenuhnya berdasarkan kalkulasi keekonomian (marginal cost) penambahan kapasitas penyediaan listrik,” jelas seorang analis energi yang enggan disebut namanya.

Sistem pasar pembeli tunggal di sektor kelistrikan nasional sulit diubah karena diatur oleh konstitusi dan peraturan perundangan yang ada. Oleh karena itu, percepatan pengembangan listrik panas bumi bergantung pada political will pemerintah sebagai regulator.

Pemerintah perlu menetapkan tarif dan alokasi subsidi yang selaras dengan target penambahan kapasitas PLTP sesuai RUPTL. Dengan demikian, PLN secara implisit diberikan mandat untuk memperbanyak listrik dari panas bumi, didukung insentif fiskal yang memadai.

“Ini bukan pilihan, tetapi konsekuensi logis dari struktur pasar kelistrikan regulated single buyer market. Jika ingin percepatan penyediaan listrik dari energi terbarukan, khususnya panas bumi, diperlukan penyesuaian kebijakan yang tepat,” tambahnya.

Dengan potensi panas bumi terbesar dunia dan dukungan kebijakan yang tepat, Indonesia berpeluang menjadi pemimpin global dalam pengembangan listrik panas bumi. Namun, tanpa sinergi kuat antara regulator, pengembang, dan PLN serta komitmen politik yang nyata, tantangan ekonomi dan struktur pasar akan terus menjadi hambatan utama.

Nathasya Zallianty

Nathasya Zallianty

Insiderindonesia.com adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.

Rekomendasi

Berita Lainnya

Techno Camon 60 vs Poco M6 Pro: Perbandingan Terbaik di Kelas Mid-Range 2025

Techno Camon 60 vs Poco M6 Pro: Perbandingan Terbaik di Kelas Mid-Range 2025

5 Film Netflix yang Banyak Ditonton di Indonesia: Rekomendasi dan Penilaian Berdasarkan Rating Penonton Terbaru

5 Film Netflix yang Banyak Ditonton di Indonesia: Rekomendasi dan Penilaian Berdasarkan Rating Penonton Terbaru

Pengertian Zona Ekonomi Eksklusif: Delimitasi hingga Fungsi

Pengertian Zona Ekonomi Eksklusif: Delimitasi hingga Fungsi

Mengenal Ragoon U9: Perangkat Canggih dengan Fitur Inovatif

Mengenal Ragoon U9: Perangkat Canggih dengan Fitur Inovatif

Mengenal Beberapa Penyebab Keputihan Berwarna Coklat

Mengenal Beberapa Penyebab Keputihan Berwarna Coklat