
JAKARTA - Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengembangkan industri hilirisasi nikel. Ambisi menjadi pemain utama dalam rantai pasok global nikel membuka peluang ekonomi besar, namun juga menimbulkan dilema serius terkait pelestarian lingkungan. Potensi sumber daya nikel yang melimpah harus dikelola dengan bijak agar pembangunan industri tidak mengorbankan keberlanjutan alam dan sosial.
Potensi Nikel dan Ambisi Hilirisasi Indonesia
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat produksi nikel Indonesia terus meningkat. Pemerintah juga telah menerapkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel untuk mendorong pengembangan smelter dan hilirisasi domestik. Namun, studi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menyatakan, “Aktivitas hilirisasi Indonesia masih fokus pada proses bernilai tambah rendah, seperti pembuatan baja, bukan proses bernilai tambah tinggi seperti manufaktur kendaraan listrik (EV).”
Baca JugaApakah Cadangan BatuBara Indonesia Masih Kompetitif di Masa Depan?
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun volume produksi besar, nilai tambah yang dihasilkan dari hilirisasi masih belum optimal.
Ketimpangan Nilai Tambah dan Kepemilikan Industri
Data menunjukkan ekspor feronikel jauh lebih besar dibanding gabungan ekspor nikel matte dan nikel sulfat yang biasa dipakai dalam produksi kendaraan listrik. Ini menandakan hilirisasi masih terkonsentrasi pada tahap awal rantai nilai.
Ironisnya, sekitar 90% nilai tambah dari industri nikel tidak dinikmati masyarakat Indonesia karena sebagian besar perusahaan pertambangan dan smelter dimiliki asing. Oleh sebab itu, bergantung semata pada hilirisasi nikel tidak cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Dampak Positif Ekonomi Wilayah Penghasil Nikel
Provinsi penghasil nikel seperti Maluku Utara dan Sulawesi Tengah mencatat pertumbuhan ekonomi signifikan. Maluku Utara mengalami lonjakan besar, sementara Sulawesi Tengah juga mencatat peningkatan pertumbuhan ekonomi.
“Pertumbuhan tinggi penambangan bijih logam dan industri logam, terutama di Maluku Utara, mendukung pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” catat LPEM FEB UI.
Ancaman Deforestasi dan Kerusakan Lingkungan
Aktivitas tambang nikel telah menyebabkan deforestasi luas. Pembukaan lahan mencapai puluhan ribu hektar hutan, dengan sebagian besar konsesi tambang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Studi dari University of Maryland menyebut Indonesia menyumbang lebih dari seperempat deforestasi global terkait pertambangan.
Greenpeace Indonesia mengecam hilirisasi nikel yang menyebabkan kerusakan lingkungan serius. Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Iqbal Damanik, mengatakan, “Industri nikel yang tengah digenjot pemerintah di tengah permintaan mobil listrik meningkat telah mengorbankan hutan, tanah, sungai, dan laut di wilayah Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera, dan Obi.”
Ancaman terhadap Kawasan Konservasi dan Ekosistem Laut
Kawasan konservasi kaya keanekaragaman hayati seperti Raja Ampat kini terancam. Beberapa konsesi deforestasi nikel berdampak pada puluhan ribu hektar Kawasan Keanekaragaman Hayati Utama (KBA), membahayakan spesies endemik seperti rangkong Sulawesi.
Selain itu, proses peleburan nikel di pesisir merusak hutan bakau dan terumbu karang. “Indonesia yang masuk dalam Segitiga Terumbu Karang memiliki 30% terumbu karang dunia dan 76% spesies karang global. Peleburan nikel menjadi ancaman besar bagi ekosistem laut,” demikian laporan tersebut mengingatkan.
Emisi Karbon dari Industri Smelter Nikel
Dukungan energi untuk industri smelter nikel masih sangat bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Batubara (PLTU), sekitar dua pertiga pasokan energi. Dengan kapasitas PLTU mandiri yang besar, Indonesia menjadi salah satu negara penghasil emisi terbesar dari sektor ini.
PLTU menghasilkan puluhan juta ton CO? per tahun, dan dengan proyeksi produksi nikel meningkat pesat, emisi karbon diperkirakan semakin membesar, berkontribusi signifikan pada total emisi nasional.
Kasus Raja Ampat: Pelajaran dari Regulasi dan Pengawasan
Kasus penambangan nikel di Raja Ampat menunjukkan kelemahan pengawasan lingkungan. Walau pemerintah telah mencabut beberapa izin usaha pertambangan, aktivitas eksplorasi masih berjalan.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menegaskan, “Ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan pulau kecil tidak boleh ditambang, Kementerian ESDM seharusnya langsung hentikan seluruh aktivitas tambang di pulau kecil.”
Ia menambahkan bahwa kasus Raja Ampat harus menjadi momentum evaluasi tata kelola industri nikel agar manfaat ekonomi dapat dirasakan secara adil tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan sosial.
Sinergi Ekonomi dan Lingkungan Jadi Kunci Keberlanjutan
Hilirisasi nikel menyimpan potensi ekonomi besar bagi Indonesia, tetapi jika tidak dikelola dengan perhatian pada lingkungan dan sosial, risiko kerusakan dapat mengancam keberlanjutan. Sinergi kebijakan yang mengedepankan aspek ekologis dan sosial serta penguatan pengawasan sangat penting agar industri nikel dapat tumbuh tanpa mengorbankan alam dan masyarakat.

Sindi
Insiderindonesia.com adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Maccaferri Perkuat Infrastruktur Berkelanjutan Lewat Teknologi dan TKDN
- Selasa, 24 Juni 2025
Oppo Reno 14 5G Resmi Meluncur dengan Kamera Selfie 50 MP dan Fast Charging 80W
- Selasa, 24 Juni 2025
Xiaomi Smart Band 10 Muncul di Situs Retail Jelang Peluncuran Resmi 30 Juni 2025
- Selasa, 24 Juni 2025
Berita Lainnya
Techno Camon 60 vs Poco M6 Pro: Perbandingan Terbaik di Kelas Mid-Range 2025
- Selasa, 24 Juni 2025