Rupiah Melemah, Tapi Subsidi Energi Tak Membengkak Sri Mulyani Ungkap Strategi Jaga APBN 2025

Rabu, 09 April 2025 | 11:46:16 WIB
Rupiah Melemah, Tapi Subsidi Energi Tak Membengkak Sri Mulyani Ungkap Strategi Jaga APBN 2025

Jakarta - Meski nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menembus level Rp 16.860 per dolar AS, pemerintah memastikan belanja subsidi energi tidak mengalami pembengkakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Hal ini disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Sarasehan Ekonomi bersama Presiden RI di Menara Mandiri, Jakarta, Rabu, 9 April 2025.

Dalam paparannya, Sri Mulyani menekankan bahwa ketahanan fiskal pemerintah tetap terjaga meski terjadi gejolak nilai tukar. Salah satu penyebabnya adalah strategi pemerintah dalam menetapkan asumsi harga minyak mentah yang konservatif dalam APBN 2025.

Meskipun asumsi kurs dalam APBN 2025 ditetapkan pada level Rp 16.000/US$, realisasi nilai tukar saat ini sudah melampaui Rp 16.800. Namun, menurut Menkeu, tekanan terhadap subsidi tetap terkendali berkat perhitungan fiskal yang hati-hati.

Belanja Subsidi dan Kompensasi Energi Tetap Terkendali

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga 31 Maret 2025, realisasi belanja subsidi dan kompensasi pemerintah tercatat Rp 32 triliun, naik moderat sebesar 7,6% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 30,1 triliun.

Dari jumlah tersebut, Rp 32,2 triliun digunakan untuk subsidi energi, sementara subsidi non-energi hanya sebesar Rp 183,9 miliar. Kenaikan ini dinilai masih dalam batas wajar, mengingat lonjakan konsumsi dan distribusi barang-barang bersubsidi.

Berikut rincian penggunaan subsidi energi:

Bahan Bakar Minyak (BBM): Realisasi sebesar 2,90 juta kiloliter, naik 3,5% dari 2,8 juta kiloliter pada Maret 2024.

LPG 3 Kg: Disalurkan sebanyak 1,36 miliar kilogram, tumbuh 2,9% dibandingkan 1,32 miliar kg pada periode yang sama tahun lalu.

Listrik Bersubsidi: Diterima oleh 41,9 juta pelanggan, meningkat 4,2% dari 40,2 juta pelanggan tahun lalu.

Subsidi Pupuk: Telah tersalurkan 1,7 juta ton, melonjak signifikan 27,7% dari 1,3 juta ton pada Maret 2024.

Defisit APBN Masih Terkendali di Tengah Pelemahan Rupiah

Sri Mulyani juga melaporkan bahwa hingga akhir Maret 2025, defisit APBN tercatat sebesar Rp 104,2 triliun, atau sekitar 0,43% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah ini baru mencapai 16,9% dari target defisit tahun 2025 yang ditetapkan sebesar Rp 616,2 triliun atau 2,53% dari PDB.

Keseimbangan fiskal ini didukung oleh realisasi pendapatan negara yang mencapai Rp 516,1 triliun atau 17,2% dari target Rp 3.005,1 triliun, sementara belanja negara telah terealisasi sebesar Rp 620,3 triliun atau 17,1% dari target Rp 3.621,3 triliun.

Komponen pendapatan negara terdiri dari:

Penerimaan Perpajakan: Rp 400,1 triliun (16,1% dari target Rp 2.490,9 triliun)

Penerimaan Pajak: Rp 322,6 triliun (14,7% dari target Rp 2.189,3 triliun)

Kepabeanan dan Cukai: Rp 77,5 triliun (25,7% dari target Rp 301,6 triliun)

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP): Rp 115,9 triliun (22,6% dari target Rp 513,6 triliun)

Sementara itu, belanja negara terdiri dari:

Belanja Pemerintah Pusat: Rp 413,2 triliun (15,3% dari target Rp 2.701,4 triliun)

Belanja Kementerian/Lembaga (K/L): Rp 196,1 triliun (16,9% dari pagu Rp 1.160,1 triliun)

Belanja Non-K/L: Rp 217,1 triliun (14,1% dari target Rp 1.541,4 triliun)

Transfer ke Daerah: Rp 207,1 triliun (22,5% dari target Rp 919,9 triliun)

Harga Minyak Dunia Turun, Beban Subsidi Lebih Ringan

Meskipun harga minyak mentah dunia mengalami tekanan, dengan harga Brent anjlok hingga US$ 65 per barel, pemerintah tetap menggunakan asumsi konservatif sebesar US$ 82 per barel dalam APBN 2025. Penurunan harga minyak ini tercatat mencapai minus 12,8% secara bulanan, minus 12,1% year to date, dan minus 9,1% secara tahunan.

Asumsi harga minyak yang lebih tinggi dari harga pasar ini justru menguntungkan bagi APBN, karena akan berdampak pada lebih rendahnya realisasi subsidi energi.

Terkini