Tensions Rise in Sikka: Nangahale Residents Defend Against Corporate Intrusion
- Sabtu, 22 Februari 2025

JAKARTA - Konflik agraria yang berkecamuk di Nangahale, Kabupaten Sikka, kini memasuki babak baru setelah delapan warga ditetapkan sebagai terdakwa kasus perusakan plang milik PT Krisrama. Sengketa ini melibatkan klaim warga yang merusak plang sebagai tindakan balasan atas perusakan tanaman mereka oleh korporasi yang berafiliasi dengan Keuskupan Maumere.
Kasus ini telah mencapai tahap pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri Maumere sejak persidangan dimulai pada 15 Januari. Kabar terbaru dalam sidang ini menyoroti pernyataan dari pengacara terdakwa, Greg Djako, yang mengklaim bahwa warga hanya merespons aksi yang lebih dulu dilakukan oleh pihak lain terhadap mereka.
“Sebelum peristiwa perusakan plang, ada orang yang diduga utusan PT Krisrama melakukan perusakan tanaman warga,” ungkap Greg Djako kepada media lokal, Floresa, pada tanggal 21 Februari.
Menurut keterangan yang disampaikan dalam persidangan, warga Nangahale menjadi marah setelah tanaman bernilai ekonomi seperti pisang, mete, dan palawija yang menjadi sumber penghidupan mereka dirusak. Kerugian yang ditimbulkan diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah.
Peristiwa ini tidak dapat dipandang sebagai kasus sederhana. Greg menekankan bahwa tindakan warga mencabut plang yang bertuliskan “Tanah ini milik PT Krisrama Keuskupan Maumere” pada 29 Juli 2024 adalah bentuk pembelaan yang seharusnya memiliki justifikasi hukum. Ia menegaskan bahwa tindakan ini harus dilihat dalam kaitannya dengan prinsip hubungan sebab-akibat atau kausalitas.
Pengacara terdakwa menyatakan hubungan kausalitas antara dua kejadian ini – perusakan tanaman dan perusakan plang – harus menjadi pertimbangan penting dalam menentukan siapa yang sebenarnya bertanggung jawab. Dalam pandangannya, penyebab utama adalah perusakan tanaman milik warga yang dilakukan oleh pihak yang diduga sebagai suruhan PT Krisrama.
“Dalam kasus seperti ini sebenarnya kedua pelaku dalam dua peristiwa yang saling terkait dapat dihukum atas perbuatan pidana masing-masing,” ujar Greg.
Ia juga menambahkan bahwa pihak berwajib harusnya mempertimbangkan aspek pembelaan terpaksa yang dilakukan oleh warga, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Warga hanya berupaya untuk melindungi harta benda mereka yang menjadi sumber penghidupan keluarga.
Peran PT Krisrama dalam Konflik
Floresa berusaha mengklarifikasi kebenaran ini dengan menghubungi Direktur Pelaksana PT Krisrama, Romo Robertus Yan Faroka. Ia menjelaskan bahwa pembersihan dan pemasangan plang adalah tindakan legal di atas tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang bersertifikat.
“Pembersihan dan pemasangan papan plang yang bertuliskan nomor sertifikat adalah satu-kesatuan dengan pekerjaan yang dilakukan pada 29 Juli 2024 di atas lokasi tanah HGU yang sudah bersertifikat,” tegas Yan.
Menurut versi pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU), tindakan perusakan plang dilakukan secara bersama-sama oleh terdakwa, termasuk nama-nama seperti Maria Magdalena Leny, Yosep Joni, dan lainnya. JPU mengajukan dakwaan alternatif terhadap kedelapan terdakwa dengan mencantumkan Pasal 170 ayat (1) KUHP dan Pasal 406 ayat (1) KUHP.
Konteks Sejarah Sengketa
Sengketa ini berakar pada sejarah panjang konflik agraria di wilayah tersebut. Pada tahun 2023, PT Krisrama mendapatkan sertifikat HGU seluas 325 hektar di Desa Nangahale dan Desa Runut. HGU ini merupakan perpanjangan dari hak yang sudah ada sejak 1989.
Namun, sejarah tanah ini lebih panjang lagi, dimulai dari tahun 1912 ketika tanah tersebut dikuasai oleh perusahaan kolonial Belanda, Amsterdam Soenda Compagnie, sebelum dibeli oleh gereja pada tahun 1926.
HGU yang diperoleh tahun 1989 oleh Keuskupan Agung Ende kemudian beralih ke Keuskupan Maumere setelah pembentukannya pada tahun 2005, hingga HGU tersebut berakhir pada 2013. Masyarakat adat setempat percaya bahwa setelah berakhirnya HGU, tanah tersebut harus dikembalikan kepada mereka sebagai tanah ulayat.
Peneliti seperti Henderikus Jon dalam kajian mereka di Jurnal Genesis Indonesia mencatat bahwa konflik agraria di Nangahale ini semakin mencuat akibat perbedaan pemahaman tentang riwayat tanah antara masyarakat adat, perusahaan, dan pemerintah daerah. Dinamika ini juga dipicu oleh bencana alam dan kebangkitan kesadaran hak tanah adat.
Jalan Panjang Penyelesaian
Seiring dengan berlanjutnya persidangan, ada harapan bahwa semua pihak dapat menemukan solusi damai untuk menyelesaikan konflik ini. Pendekatan yang mengharmoniskan antara hak hukum, keadilan sosial, dan hak masyarakat adat hendaknya menjadi panduan untuk menuntaskan kasus yang telah lama menyisakan sengketa ini.
Kehadiran saksi ahli dalam sidang yang direncanakan pada 26 Februari diharapkan dapat memberikan pandangan yang lebih rinci dan obyektif terkait aspek pidana, tata negara, serta perspektif masyarakat adat.

Yoga
Insiderindonesia.com adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.