KPK Buka Potensi Sidik Korporasi PT AP dalam Kasus Korupsi Tanah Pulogebang
- Senin, 17 Februari 2025

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mempertimbangkan untuk melakukan penyelidikan mendalam terhadap korporasi PT AP, terkait skandal pengadaan tanah di Pulogebang. Langkah ini diambil seiring dengan rekomendasi dari majelis hakim yang menangani kasus tersebut. Rencana pengusutan ini berpotensi memperluas cakupan pemberantasan tindak pidana korupsi oleh lembaga antirasuah, sekaligus menyasar entitas korporasi sebagai bagian dari pelaku.
Menurut Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, upaya penyelidikan terhadap PT AP masih dalam tahap analisis. "Iya, berpotensi diusut," ungkap Tessa saat berbicara kepada wartawan pada Jumat, 14 Februari 2025 lalu. Namun, Tessa menambahkan bahwa langkah lebih lanjut masih menunggu salinan lengkap putusan hakim dalam perkara ini dan perlu melalui penilaian oleh jaksa penuntut umum sebelum dilaporkan ke pimpinan.
Proses hukum yang berjalan masih berada di tahap pengadilan tingkat pertama. Oleh karena itu, masih ada kemungkinan untuk banding dan kasasi. Sehingga, keputusan yang bersifat inkrah atau berkekuatan hukum tetap diperlukan sebelum langkah selanjutnya dapat diambil.
Kasus ini melibatkan PT AP, perusahaan milik Rudy Hartono Iskandar yang dipimpin oleh Tommy Adrian selaku Direktur Utama. Mereka berdua adalah terdakwa utama dalam dugaan korupsi pengadaan tanah bersama Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya (PPSJ), sebuah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta yang sebelumnya dipimpin oleh YCP sebagai Direktur Utama.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat telah merekomendasikan agar KPK mengusut lebih lanjut PT AP. Rekomendasi ini didasari oleh fakta bahwa PT AP diduga menerima aliran dana dari hasil penjualan tanah Pulogebang yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 256 miliar.
Dalam sidang, Tommy Adrian sebagai Direktur dan Rudy Hartono Iskandar sebagai pemilik dan pengendali PT AP menjadi sorotan. Mereka mengikuti persidangan secara daring dari Lembaga Pemasyarakatan Tangerang. YCP, mantan Direktur Utama PPSJ, sudah lebih dahulu dijatuhi vonis dalam sidang sebelumnya.
Ketua majelis hakim, Bambang Joko Winarno, menjelaskan bahwa pendapatan dari penjualan tanah Pulogebang yang bermasalah itu telah memperkaya sejumlah pihak. YCP diketahui mendapatkan sebesar Rp 1,74 miliar, sebagian dari dana tersebut terdistribusi ke berbagai pihak dalam bentuk mata uang, kendaraan, dan lainnya.
Dana hasil penjualan tanah yang seharusnya membantu pembangunan malah digunakan untuk berbagai keperluan pribadi dan operasional. Hakim memaparkan, "Menimbang bahwa terdapat uang hasil penjualan tanah Pulogebang digunakan PT AP untuk biaya operasional, gaji karyawan, listrik, membayar pajak, dan sebagainya sebesar Rp 40,4 miliar, biaya notaris Rp 5 miliar, pemberian kepada pihak tertentu sebesar Rp 4 miliar, dan lain-lain yang jika dijumlahkan mencapai Rp 62,3 miliar."
Selain itu, terdakwa Rudy Hartono dan istrinya, AR, memperkaya diri melalui pembelian saham senilai Rp 18,7 miliar serta penggunaan dana untuk keperluan pribadi mencapai Rp 27,3 miliar. Dana juga digunakan untuk pembebasan lahan sebesar Rp 20 miliar dan pembayaran tanah yang tidak bermasalah sejumlah Rp 40,8 miliar. Total pengeluaran yang dicatat mencapai Rp 290 miliar.
Hakim kemudian menggarisbawahi pentingnya langkah lanjut terhadap korporasi yang menerima aliran dana sehingga dapat mengurangi kerugian keuangan negara. Hal ini menjadi rekomendasi utama dalam putusan sidang.
Majelis hakim turut mempertimbangkan permintaan jaksa KPK mengenai pengembalian kerugian negara dimana ada kaitannya dengan pajak atas kendaraan mewah milik Rudy Hartono yang belum dibayarkan. Hakim meminta jaksa untuk mendalami keberadaan kendaraan tersebut lebih lanjut.
Perbuatan terdakwa dalam penjualan tanah Pulogebang dinilai melanggar Pasal 2 Ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUH Pidana sebagaimana dakwaan pertama jaksa KPK. Sebagai konsekuensi dari tindakan tersebut, majelis hakim menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara bagi Rudy Hartono Iskandar dan enam tahun penjara bagi Tommy Adrian. Selain pidana penjara, para terdakwa juga diwajibkan membayar denda masing-masing sebesar Rp 200 juta, digantikan dengan pidana kurungan maksimal selama tiga bulan jika tidak dibayar.
Hakim juga memutuskan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp 27,3 miliar kepada Rudy Hartono, dengan tenggat waktu satu bulan dari putusan inkrah. Jika tidak dipenuhi, maka aset milik terdakwa akan disita dan dilelang.
Aspek-aspek memberatkan dalam vonis ini mencakup tindakan terdakwa yang tidak sejalan dengan program pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan dampaknya terhadap proyek pembangunan perumahan, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Terdakwa juga dianggap bersikap sopan dan kooperatif dalam persidangan, yang menjadi aspek meringankan.
Mengakhiri persidangan, hakim menyatakan, "Dengan dibacakan putusan ini, maka pemeriksaan selesai. Dan atas putusan ini, saudara penuntut umum dan saudara terdakwa memiliki waktu untuk menyatakan pikir-pikir, menerima putusan, atau tidak selama tujuh hari."
Kasus ini bermula dari pembelian enam bidang tanah di Pulogebang oleh PPSJ dari PT AP pada periode 2018-2019. Namun, dari tanah yang dibeli, lima di antaranya masih bermasalah hukum karena ada gugatan dari ahli waris yang akhirnya dimenangkan oleh penggugat. Hal ini menyebabkan PPSJ tidak dapat memanfaatkan tanah tersebut sepenuhnya, menambah daftar panjang kerugian negara akibat korupsi.
Dengan pengusutan lanjutan terhadap PT AP ini, diharapkan keadilan atas penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara dapat segera dipulihkan. Proses tersebut juga diharapkan dapat menjadi peringatan bagi entitas lain dalam rangka menjaga integritas dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset dan keuangan negara.

Yoga
Insiderindonesia.com adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.