Infrastruktur Transportasi Ramah Difabel Masih Minim, Pengawasan dan Peran Masyarakat Jadi Kunci Perubahan

Senin, 05 Mei 2025 | 08:53:10 WIB
Infrastruktur Transportasi Ramah Difabel Masih Minim, Pengawasan dan Peran Masyarakat Jadi Kunci Perubahan

JAKARTA — Pembangunan infrastruktur transportasi yang ramah difabel menjadi kebutuhan mendesak di tengah tuntutan pelayanan publik yang inklusif. Meski beberapa kota besar di Indonesia telah mulai menyediakan fasilitas aksesibilitas seperti jalur kursi roda, ramp, dan jalur pemandu, kenyataannya implementasi di lapangan masih jauh dari kata memadai.

Dalam konteks hak asasi manusia dan keadilan sosial, transportasi publik yang bisa diakses oleh penyandang disabilitas bukanlah fasilitas tambahan, tetapi kebutuhan dasar. Namun, berbagai hambatan teknis dan minimnya kesadaran sosial membuat para difabel kerap masih kesulitan mengakses layanan publik yang seharusnya terbuka untuk semua.

Definisi dan Tantangan Aksesibilitas

Infrastruktur ramah difabel tidak hanya menyangkut fisik bangunan dan alat transportasi, tapi juga menyentuh pelayanan publik secara menyeluruh. Pelayanan yang inklusif menuntut perlakuan khusus dan jaminan aksesibilitas, seperti ruang tunggu yang memadai, informasi visual dan audio yang mudah dipahami, serta kemudahan berpindah antarmoda.

“Transportasi publik yang inklusif berarti memberikan pengalaman yang setara bagi semua orang, tidak hanya sekadar membangun jalur kursi roda atau memasang lift,” ujar pemerhati kebijakan inklusi sosial, Wahyu Prasetyo, dalam diskusi publik di Jakarta.

Meski demikian, Wahyu menggarisbawahi bahwa desain infrastruktur sering kali tidak melibatkan penyandang disabilitas dalam proses perencanaannya. Hal ini menyebabkan banyak fasilitas tidak berfungsi maksimal atau bahkan berbahaya bagi pengguna.

Peran Pengawasan dan Masyarakat

Kendala terbesar dalam pelaksanaan transportasi inklusif adalah lemahnya pengawasan. Banyak fasilitas publik yang awalnya dibangun dengan niat baik, namun karena kurangnya pemeliharaan dan pengawasan dari masyarakat maupun pemerintah, akhirnya tidak lagi layak pakai.

“Sering kali, yang tertulis dalam perencanaan berbeda jauh dari yang terwujud di lapangan. Tanpa pengawasan yang ketat, pembangunan hanya akan menjadi formalitas,” kata Wahyu.

Masyarakat memiliki peran vital dalam menjaga keberlanjutan fasilitas publik yang ramah difabel. Pengawasan partisipatif dari warga dapat menjadi alat kontrol sosial agar pihak pengelola transportasi dan pemerintah tetap konsisten dalam menyediakan layanan yang layak.

Selain itu, edukasi publik juga dibutuhkan agar masyarakat memahami bahwa hak aksesibilitas bukanlah belas kasihan, melainkan bagian dari hak sipil yang dijamin konstitusi.

“Kesadaran kolektif sangat penting. Ketika masyarakat umum paham bahwa aksesibilitas adalah hak, maka diskriminasi dalam bentuk apapun akan makin terkikis,” lanjut Wahyu.

Laporan dan Media Sosial Sebagai Alat Kontrol

Salah satu cara masyarakat dapat terlibat aktif adalah dengan melaporkan kekurangan atau kerusakan fasilitas kepada pihak berwenang. Saluran pengaduan resmi maupun media sosial bisa menjadi sarana ampuh untuk menyampaikan keluhan sekaligus membangun tekanan publik.

Dengan meningkatnya digitalisasi pelayanan, pengaduan publik kini bisa dilakukan lebih cepat dan masif, sehingga perbaikan dapat segera dilakukan. Namun tentu saja, pemerintah dan operator transportasi juga harus responsif terhadap laporan yang masuk.

Sinergi Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat

Upaya menciptakan sistem transportasi inklusif tidak bisa dibebankan pada satu pihak saja. Pemerintah bertanggung jawab dalam menyusun regulasi dan melakukan pengawasan implementasi. Di sisi lain, pengelola fasilitas transportasi bertugas menyediakan sarana dan prasarana yang sesuai standar.

“Masyarakat tidak hanya bisa mengawasi, tetapi juga menjadi agen edukasi agar budaya inklusif bisa tumbuh dari bawah,” tegas Wahyu.

Koordinasi antara pemerintah, penyedia jasa transportasi, dan masyarakat akan memperkuat sistem pelayanan publik yang merata, adil, dan tidak diskriminatif. Jika seluruh elemen bergerak bersama, cita-cita menghadirkan transportasi ramah difabel bukan lagi angan-angan.

Menuju Masyarakat Inklusif

Akses transportasi yang setara akan berdampak besar terhadap kualitas hidup penyandang disabilitas. Mereka dapat lebih mudah beraktivitas, bekerja, dan mengakses pendidikan tanpa harus mengandalkan bantuan terus-menerus dari orang lain.

Lebih jauh lagi, infrastruktur inklusif akan menciptakan masyarakat yang lebih berkeadilan sosial, karena memberikan ruang bagi semua orang untuk berkembang tanpa hambatan fisik maupun sosial.

“Kalau kita ingin menciptakan Indonesia yang benar-benar ramah difabel, mari mulai dari tempat yang paling dekat—halte, terminal, stasiun, dan jalan yang kita lewati setiap hari,” pungkas Wahyu.

Sudah saatnya pembangunan infrastruktur tidak hanya dilihat dari segi kemegahan, tetapi juga dari sejauh mana fasilitas itu bisa diakses oleh seluruh warga negara—tanpa kecuali.

Terkini