Jakarta – Di tengah maraknya kasus fintech bermasalah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa hingga saat ini, tidak ada dampak signifikan terhadap peningkatan Non Performing Loan (NPL) di sektor perbankan Indonesia. Meskipun demikian, OJK tidak mengendurkan langkah pengawasan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, Senin, 10 Maret 2025.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyatakan bahwa pihaknya senantiasa mengawasi dan melakukan pemeriksaan mendalam terhadap bank-bank yang berkolaborasi dengan perusahaan financial technology (fintech) melalui skema peer-to-peer (P2P) lending. "Kami meminta bank untuk melakukan evaluasi komprehensif terhadap semua kerja sama dengan perusahaan fintech P2P lending, termasuk menilai kinerja dan kelayakan mitra tersebut," ungkap Dian. Pernyataan ini menggarisbawahi komitmen OJK untuk memperkuat pengawasan terhadap kredit yang disalurkan melalui platform fintech.
Mengantisipasi potensi peningkatan NPL, OJK memberi instruksi tegas kepada bank jika menghadapi masalah kredit signifikan. "Bank diminta menghentikan sementara penyaluran kredit kepada dan/atau melalui perusahaan fintech P2P lending dan melakukan evaluasi terhadap model bisnis kerja sama tersebut," tambah Dian. Langkah ini penting agar bank bisa lebih berhati-hati dan tidak terjebak dalam risiko kredit yang lebih besar.
Lebih lanjut, Dian menjelaskan bahwa dalam hal pemberian kredit dengan skema channeling, penetapan Risk Acceptance Criteria (RAC) dan proses analisis kredit kepada konsumen akhir juga harus dievaluasi. "Prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit harus menjadi prioritas utama," tegasnya.
Penekanan pada prinsip kehati-hatian (prudential banking) ini dibarengi dengan upaya OJK memantau rencana dan realisasi penyaluran kredit kepada fintech P2P lending sepanjang tahun 2025. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi peningkatan risiko kredit akibat fenomena fintech yang semakin marak.
Mengacu pada data yang dirilis OJK, nilai outstanding pembiayaan P2P lending pada Desember 2024 mencapai Rp77,07 triliun, meningkat dibandingkan posisi November 2024 yang tercatat sebesar Rp75,60 triliun. Peningkatan ini menunjukkan bahwa fintech P2P lending semakin memainkan peran penting dalam sistem keuangan Indonesia.
Pendanaan dari sektor perbankan masih mendominasi pembiayaan P2P lending, mencapai 60 persen dari total penyaluran pada Desember 2024. Angka ini juga meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 59 persen, dengan bank digital sebagai pemain utama dalam pendanaan ini.
OJK menyadari bahwa kerjasama antara bank dan fintech melalui skema P2P lending memiliki potensi besar untuk memperluas akses pembiayaan. Namun demikian, potensi risiko yang ada memaksa OJK untuk mengambil langkah tegas demi menjaga kesehatan industri perbankan secara keseluruhan.
"Memastikan setiap langkah bank dalam berkolaborasi dengan fintech P2P lending sesuai dengan prinsip-prinsip prudential banking adalah prioritas kami di OJK," tegas Dian. Pengawasan ketat ini diharapkan dapat mempertahankan stabilitas sistem keuangan Indonesia, meskipun di tengah perkembangan fintech yang pesat.
Diharapkan, bank dan perusahaan fintech dapat bekerja sama dengan lebih hati-hati dan selektif dalam penyaluran pembiayaan, guna menghindari potensi risiko kredit yang dapat membahayakan stabilitas sistem keuangan nasional. Dengan pengawasan yang ketat dan komitmen terhadap kehati-hatian, sektor perbankan Indonesia dapat terus tumbuh di tengah tantangan yang dihadapi.