
JAKARTA – Di era digital seperti sekarang, penggunaan gadget oleh anak-anak dan remaja semakin meluas dan menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari. Menonton video pendek, bermain game, atau menggulir media sosial kerap menjadi rutinitas yang sulit dihentikan. Namun, kebiasaan ini bila tidak dikontrol bisa menimbulkan fenomena yang disebut “brain rot” kondisi mental yang merugikan akibat terlalu lama terpapar konten digital dangkal dan berulang.
Meskipun istilah “brain rot” belum diakui secara resmi dalam dunia medis, istilah ini populer digunakan untuk menggambarkan dampak negatif pada kemampuan otak anak. Anak yang terlalu sering terpapar konten yang minim nilai edukasi cenderung mengalami penurunan fokus, kelelahan mental, hingga rasa “mati rasa” secara psikologis. Kondisi ini bisa berpengaruh pada prestasi akademik, kesehatan emosional, dan perkembangan sosial anak.
Apa Itu Brain Rot?
Baca Juga
Menurut Susan Lotkowski, DO, ahli neurologi dari Inspira Medical Group, brain rot adalah “efek negatif dari paparan berlebihan terhadap konten digital yang dangkal, repetitif, atau terlalu menstimulasi.” Ia menegaskan, “Paparan ini menimbulkan kekhawatiran nyata bagi kesehatan otak.”
Platform digital saat ini memang dirancang untuk memberikan rangsangan cepat melalui like, share, dan konten yang mudah membuat ketagihan. “Stimulasi konstan ini bisa mengganggu fungsi kognitif jika berlangsung terus-menerus,” jelas Lotkowski.
Sementara itu, Dr. Michael Rich, dokter anak dan pendiri Digital Wellness Lab di Boston Children’s Hospital, menyoroti pentingnya kualitas konten, bukan hanya durasi waktu layar. “Anak-anak bisa menonton dua jam film dokumenter yang memberikan dampak positif, tapi lima menit konten toxic di TikTok bisa mengganggu persepsi mereka terhadap realitas,” ujarnya. Paparan konten berbahaya juga dapat menimbulkan kecemasan, menurunkan rasa percaya diri, dan membentuk pola pikir tidak sehat pada anak.
Dampak Brain Rot pada Anak
Situs Nationwide Children’s Hospital mengingatkan bahwa konsumsi digital yang berlebihan berpotensi mengganggu tidur, meningkatkan kecemasan, dan menurunkan kemampuan komunikasi anak. Jean Twenge, PhD, profesor psikologi di San Diego State University, menambahkan bahwa peningkatan penggunaan gadget berkaitan dengan penurunan tingkat kebahagiaan, depresi, dan gangguan tidur pada remaja.
“Anak-anak zaman sekarang lebih kesepian, mengalami gangguan kecemasan, dan kurang tidur dibanding generasi sebelumnya. Gadget berperan besar dalam perubahan ini,” ungkap Twenge.
Beberapa dampak brain rot yang perlu diwaspadai antara lain:
Rentang perhatian menurun: Anak terbiasa dengan konten cepat seperti reels dan TikTok sehingga sulit fokus pada tugas lebih kompleks.
Berpikir dangkal: Kebiasaan doomscrolling mengikis kemampuan analisis mendalam.
Paparan informasi keliru: Anak menganggap konten negatif sebagai hal biasa.
Kelelahan emosional: Terpancing emosi negatif tanpa alasan jelas.
Isolasi sosial: Merasa kesepian meski “terhubung” secara digital.
Gangguan fisik: Sakit kepala, gangguan tidur, dan hilangnya nafsu makan.
Tanda Anak Mengalami Brain Rot
Laurie Ann Manwell, PhD, psikolog asal Kanada, menjelaskan bahwa “Waktu layar berlebihan berdampak negatif pada perhatian, pembelajaran, memori, regulasi emosi, dan fungsi sosial.” Beberapa ciri anak yang mengalami brain rot adalah:
Gangguan kognitif: Sulit berkonsentrasi, mudah lupa, menurun kemampuan problem solving, dan cepat bosan dengan aktivitas non-digital.
Perubahan emosi dan perilaku: Mudah marah atau cemas saat diminta berhenti bermain gadget, menarik diri dari pergaulan nyata, kreativitas menurun, dan sering mengeluh lelah.
Dampak akademik: Nilai menurun, komunikasi terganggu karena penggunaan bahasa internet berlebihan, dan kesulitan menyusun argumen.
Cara Efektif Mengatasi Brain Rot pada Anak
Adam Leventhal, PhD, dosen sekaligus direktur eksekutif Institute for Addiction Science di University of Southern California, menyatakan, “Meskipun brain rot bukan diagnosis medis, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan orang tua untuk mencegah dan memperbaiki dampaknya.”
Berikut cara mengatasi brain rot pada anak:
Menjadi teladan: Anak cenderung meniru perilaku orang tua. Kurangi penggunaan gadget saat bersama anak dan aktifkan kegiatan offline.
Tetapkan batas sehat: Buat aturan jelas tentang waktu layar, gunakan fitur pengatur waktu di perangkat, dan dorong istirahat digital secara berkala.
Zona bebas teknologi: Ciptakan ruang dan waktu tanpa gadget, misalnya saat makan atau satu jam sebelum tidur.
Terapkan aturan 80/20: Pastikan 80% konsumsi konten digital edukatif atau kreatif, sisanya 20% hiburan ringan.
Dorong aktivitas offline: Ajak anak melakukan kegiatan seperti melukis, bermain musik, olahraga, dan membaca untuk merangsang otak secara sehat.
Bicara dari hati ke hati: Jelaskan alasan pembatasan penggunaan gadget dan bahas bahaya konten dangkal agar anak bisa berpikir kritis.
Dengan perhatian, batasan waktu layar, serta dukungan kegiatan offline, anak bisa terhindar dari kecanduan gadget dan dampak brain rot. Teknologi memang tidak bisa dihindari, namun penggunaannya harus diarahkan agar memberi manfaat, bukan justru merugikan perkembangan anak.

Sindi
Insiderindonesia.com adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.