Asuransi BUMN Perlu Tiga Pilar, Konsolidasi Wajib Perhatikan Keadilan Sosial
- Senin, 23 Juni 2025

JAKARTA — Wacana konsolidasi perusahaan asuransi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali mencuat seiring dengan transformasi besar-besaran yang tengah dilakukan pemerintah melalui Danantara sebagai holding pengelola investasi. Upaya ini dinilai penting untuk memperkuat daya saing industri asuransi nasional yang selama ini masih terfragmentasi ke dalam berbagai entitas kecil dengan model bisnis yang tumpang tindih.
Meski begitu, para ahli menilai bahwa efisiensi bukanlah satu-satunya tujuan dalam konsolidasi industri asuransi BUMN. Lebih dari sekadar menyatukan perusahaan untuk mengejar kinerja keuangan, pemerintah dituntut untuk memastikan bahwa layanan perlindungan asuransi kepada masyarakat tetap adil dan inklusif.
“Efisiensi memang diperlukan, tapi dalam sektor asuransi, negara punya mandat yang lebih besar, yaitu memberikan perlindungan yang menyeluruh dan berkeadilan bagi seluruh rakyat,” ungkap salah satu pengamat kebijakan publik.
Baca Juga
Menurutnya, skema ideal bagi konsolidasi asuransi BUMN seharusnya disusun secara proporsional dan realistis. Struktur ini harus berpihak pada prinsip keadilan sosial dan mendukung fungsi asuransi bukan hanya sebagai instrumen komersial, melainkan juga sebagai instrumen perlindungan sosial bagi masyarakat.
Tiga Pilar Asuransi BUMN
Untuk mendukung tujuan tersebut, Indonesia dinilai cukup memiliki tiga pilar utama dalam industri asuransi BUMN. Dengan pembagian yang jelas, ketiga pilar ini akan membentuk sistem perlindungan menyeluruh bagi masyarakat sekaligus mendukung pembangunan ekonomi nasional.
1. Asuransi Umum (General Insurance)
Pilar pertama berfokus pada asuransi kerugian yang mencakup perlindungan kendaraan, properti, tanggung gugat, dan asuransi kredit. Penggabungan perusahaan-perusahaan asuransi umum BUMN ke dalam satu holding dipandang strategis untuk memperkuat dukungan terhadap pembiayaan sektor riil, termasuk pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta pengembangan infrastruktur nasional.
Konsolidasi ini juga diharapkan mampu meningkatkan kapasitas asuransi nasional dalam memberikan perlindungan terhadap risiko bencana dan kerugian material, yang sering kali menjadi tantangan bagi dunia usaha di Indonesia.
2. Asuransi Jiwa (Life Insurance)
Pilar kedua berfungsi memberikan perlindungan jangka panjang bagi masyarakat melalui produk asuransi jiwa, dana pensiun, dan endowment. Penyatuan IFG Life, Jiwasraya, dan perusahaan sejenisnya menjadi satu entitas diyakini akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap industri asuransi jiwa.
Dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap asuransi jiwa, diharapkan semakin banyak masyarakat yang memiliki proteksi finansial jangka panjang, sekaligus mendukung ketahanan ekonomi keluarga dalam menghadapi risiko kehilangan sumber penghasilan.
3. Asuransi Sosial/Wajib (Social Insurance)
Pilar ketiga merupakan aspek terpenting dan bersifat non-komersial. Dalam hal ini, Jasa Raharja memiliki mandat untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 33 dan 34 Tahun 1964 sebagai pelaksana asuransi kecelakaan lalu lintas dan angkutan umum.
“Peran Jasa Raharja bukan sekadar bisnis. Ini wajah negara saat masyarakat tertimpa musibah kecelakaan. Prosedur cepat dan santunan manusiawi adalah ruh layanan sosial yang tidak boleh hilang,” jelasnya.
Sejalan dengan amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) 2023, tugas Jasa Raharja justru semakin luas. Kini, Jasa Raharja didorong untuk mengembangkan program jaminan kerugian pihak ketiga (Compulsory Third Party Liability/CTPL) untuk cedera badan maupun kerusakan properti, seperti yang sudah diterapkan di berbagai negara maju.
Konsolidasi Harus Proporsional
Penting untuk dicatat, langkah konsolidasi tidak boleh dilakukan dengan pendekatan “one size fits all” atau satu model untuk semua jenis asuransi. Hal ini karena masing-masing entitas memiliki mandat, peran, dan orientasi bisnis yang berbeda. Khusus untuk asuransi sosial seperti Jasa Raharja, entitas ini harus tetap berdiri sendiri dan diperkuat perannya dalam mendukung keadilan sosial.
Sebaliknya, untuk dua pilar lainnya yakni asuransi umum dan asuransi jiwa, proses konsolidasi dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi, menyinergikan teknologi, memperluas penetrasi pasar, dan memperkuat literasi asuransi nasional.
Pasalnya, potensi pasar asuransi di Indonesia masih sangat besar. Berdasarkan data terakhir, penetrasi industri asuransi Indonesia baru mencapai sekitar 3,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini berarti, masih ada ruang pertumbuhan yang sangat luas bagi industri ini untuk memberikan kontribusi nyata terhadap ekonomi nasional.
Namun, konsolidasi harus menjadi alat untuk memperluas akses perlindungan asuransi kepada masyarakat luas, bukan sekadar untuk mempercantik neraca keuangan perusahaan.
Di Atas Efisiensi, Ada Misi Keadilan
“Di balik angka-angka laporan keuangan itu, ada wajah rakyat yang menanti perlindungan yang cepat, adil, dan bermartabat,” tegasnya.
Transformasi asuransi BUMN juga harus mampu mendukung visi besar menjadikan asuransi sebagai bagian integral dari jaring pengaman sosial nasional. Artinya, industri asuransi BUMN tidak boleh hanya menjadi alat bisnis, tetapi juga sebagai instrumen negara untuk menghadirkan rasa aman bagi rakyatnya.
Ke depan, industri asuransi nasional, khususnya yang berada di bawah kendali BUMN, diharapkan dapat tampil lebih sehat, kuat, modern, dan tetap mengedepankan misi kemanusiaan.
“Yang kita bangun bukan hanya perusahaan besar yang efisien, tetapi juga perusahaan yang menjaga harapan masyarakat,” pungkasnya.
Dengan demikian, langkah konsolidasi asuransi BUMN harus dilakukan dengan hati-hati, proporsional, dan tetap berpihak kepada kepentingan masyarakat luas.

Mazroh Atul Jannah
Insiderindonesia.com adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.