Mantan Dirjen Migas ESDM Tutuka Ariadji Diperiksa Terkait Kasus Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah PT Pertamina
- Kamis, 13 Maret 2025

Jakarta - Tim Jaksa Penyidik Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung RI memeriksa mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Minyak dan Gas (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji, pada Selasa, 12 Maret 2025. Pemeriksaan tersebut terkait dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang yang melibatkan PT Pertamina (Persero), Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) selama periode 2018 hingga 2023.
Tutuka Ariadji, yang menjabat sebagai Dirjen Migas pada periode 2020-2024, diperiksa bersama dengan sembilan saksi lainnya. Mereka dipanggil untuk memberikan keterangan guna memperkuat bukti-bukti dan melengkapi pemberkasan dalam kasus yang tengah diselidiki ini. Selain Tutuka, sejumlah pejabat dan pihak terkait juga diperiksa, termasuk mereka yang pernah menjabat sebagai Dirjen Migas sebelumnya, serta beberapa anggota tim pengawasan di BPH Migas dan PT Pertamina, Kamis, 13 Maret 2025.
Pemeriksaan Para Saksi untuk Perkuat Kasus
Baca Juga
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengungkapkan daftar saksi yang diperiksa dalam kasus ini. Di antaranya adalah ES, mantan Dirjen Migas periode 2019-2020, serta sejumlah pejabat penting di BPH Migas dan PT Pertamina. Para saksi tersebut memberikan keterangan yang diharapkan dapat memperkuat pembuktian dalam perkara dugaan korupsi ini.
“Para saksi yang diperiksa di antaranya adalah AYM, Koordinator Pengawasan BBM BPH Migas; AAHP, VD PTD PT Pertamina Patra Niaga; YP, bekas Assistant Manager Light Destilate Trading ISC 2018-2020; NAL, VC Controller PT Pertamina Patra Niaga; serta beberapa pihak terkait lainnya,” ujar Harli Siregar dalam keterangan pers resmi pada Kamis, 13 Maret 2025.
Tersangka Dalam Kasus Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah
Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Mereka diduga terlibat dalam pengelolaan minyak mentah yang tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, yang menyebabkan kerugian negara dalam jumlah yang sangat besar.
Beberapa tersangka utama dalam kasus ini adalah Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga; Sani Dinar Saifuddin, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; dan Yoki Firnandi, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping. Selain itu, sejumlah nama lain yang juga ditetapkan sebagai tersangka antara lain Agus Purwono, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, serta Maya Kusmaya dan Edward Corne yang merupakan pejabat penting di PT Pertamina Patra Niaga.
Modus Operandi yang Merugikan Negara
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa modus operandi yang digunakan oleh para tersangka dimulai dengan pengimporan bahan bakar minyak (BBM) dengan kadar RON 90 atau setara Pertalite. Padahal, kesepakatan awal seharusnya adalah untuk mengimpor Pertamax dengan kadar RON 92.
“Bahan bakar minyak yang diimpor seharusnya adalah Pertamax dengan kadar RON 92, namun yang diimpor adalah RON 90. Kemudian, dilakukan blending di storage depo untuk mengubahnya menjadi RON 92, yang tentunya tidak diperbolehkan,” ujar Abdul Qohar. Tindakan ini mengindikasikan adanya pelanggaran serius terhadap ketentuan yang berlaku dalam pengelolaan BBM.
Tak hanya itu, tersangka Yoki Firnandi juga diduga melakukan markup pada kontrak pengiriman (shipping), yang menyebabkan negara harus mengeluarkan biaya tambahan sebesar 13-15 persen. Hal ini membuat negara menderita kerugian yang sangat besar.
“Dalam kasus ini, Yoki Firnandi terlibat dalam markup kontrak shipping yang membuat negara harus mengeluarkan biaya yang tidak wajar, yakni 13-15 persen lebih tinggi. Dari sini, tersangka M. Kerry Adrianto Riza mendapatkan keuntungan yang sangat besar, yang akhirnya merugikan negara hingga mencapai Rp193,7 triliun,” jelas Qohar.
Kerugian Negara yang Sangat Besar
Kerugian negara yang ditimbulkan akibat kasus ini sangatlah signifikan, mencapai Rp193,7 triliun, yang berasal dari berbagai tindakan yang dilakukan oleh para tersangka dalam pengelolaan minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina. Kasus ini menjadi salah satu perhatian besar dalam upaya pemberantasan korupsi di sektor energi, yang selama ini menjadi sorotan publik.
“Kerugian negara dalam kasus ini sangat besar, mencapai hampir Rp200 triliun. Ini menjadi bukti betapa pentingnya pengawasan yang ketat terhadap pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, khususnya dalam sektor energi dan pertambangan,” kata Qohar menambahkan.
Upaya Kejagung dalam Menuntaskan Kasus
Kejaksaan Agung berkomitmen untuk terus menyelidiki dan menuntaskan kasus ini dengan menindak tegas para pelaku tindak pidana korupsi yang merugikan negara. Penanganan kasus ini diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku korupsi lainnya, serta memperbaiki tata kelola sumber daya alam di Indonesia.
“Proses penyidikan akan terus dilakukan secara transparan dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Kami berkomitmen untuk menuntaskan kasus ini hingga tuntas, serta memastikan bahwa pihak-pihak yang terlibat mendapatkan hukuman yang setimpal,” tegas Abdul Qohar.
Kasus ini menggambarkan pentingnya upaya bersama untuk memberantas korupsi dan memperbaiki tata kelola sektor energi yang selama ini menjadi sumber daya vital bagi perekonomian Indonesia. Kejaksaan Agung dan lembaga terkait lainnya terus bekerja keras untuk mengungkap kebenaran dan membawa para pelaku ke pengadilan.

Tri Kismayanti
Insiderindonesia.com adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Bank Raya Perkuat Ekosistem Digital UMKM Lewat Fitur Kasir di Saku Bisnis
- Rabu, 16 April 2025
Berita Lainnya
Pinjaman KUR BSI Rp 70 Juta: Solusi Cepat dan Syariah untuk UMKM Berkembang
- Kamis, 02 Januari 2025
Bocoran KUR BRI 2025: Cicilan, Syarat, dan Cara Pengajuan yang Perlu Anda Ketahui
- Kamis, 02 Januari 2025