JAKARTA - Industri smelter nikel berbasis teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) di Indonesia tengah menghadapi tantangan besar akibat kenaikan harga sulfur yang signifikan. Asosiasi Pengusaha Nikel Indonesia (APNI) mengungkapkan, biaya produksi nikel di smelter HPAL meningkat hingga 57% karena harga sulfur, bahan baku utama produksi asam sulfat, melonjak tiga kali lipat dalam setahun terakhir.
Djoko Widajatno, Anggota Dewan Penasihat Pertambangan APNI, menjelaskan bahwa kenaikan harga sulfur dari US$2.000 per ton menjadi US$6.000 per ton menyebabkan lonjakan biaya produksi asam sulfat secara drastis. Akibatnya, total biaya produksi nikel meningkat dari US$7.000 per ton menjadi US$11.000 per ton.
“Ketika harga sulfur naik tiga kali lipat, biaya produksi nikel [cost per ton Ni] juga meningkat tajam. Bisa menyebabkan smelter rugi, terutama jika harga jual nikel sedang turun,” ujar Djoko saat dihubungi pada Senin, 23 Juni 2025.
Dampak Kenaikan Harga Sulfur pada Smelter HPAL
Menurut Djoko, asam sulfat menyumbang sekitar 20%-30% dari total biaya operasional (opex) smelter HPAL. Lonjakan harga sulfur menyebabkan biaya produksi nikel meningkat signifikan, sehingga menimbulkan risiko kerugian bagi pelaku usaha smelter, terlebih jika harga nikel global sedang mengalami penurunan.
Beberapa perusahaan smelter HPAL seperti PT QMB New Energy Materials dan PT Huayue Nickel Cobalt telah membangun fasilitas produksi asam sulfat sendiri (sulphuric acid plant). Namun demikian, mereka tetap terdampak fluktuasi harga sulfur mentah, apalagi jika pasokan sulfur berasal dari luar negeri seperti Timur Tengah dan China, yang juga menambah beban biaya logistik.
“Lonjakan harga sulfur ini sangat berdampak pada biaya produksi smelter HPAL, yang dapat mengancam kelangsungan operasional dan profitabilitas mereka,” tambah Djoko.
Respons dari Harita Nickel
Salah satu smelter HPAL terkemuka di Indonesia, PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) yang dikenal dengan nama Harita Nickel, juga merasakan dampak kenaikan harga sulfur. Tonny Gultom, Direktur Health, Safety, Environment Harita Nickel, mengakui fluktuasi harga sulfur masuk dalam biaya operasional perusahaan.
“Pada dasarnya masih bagian dari operasional dengan harga berfluktuasi seperti sulfur ini,” ujarnya singkat saat dimintai konfirmasi.
Sulfur sendiri sangat krusial dalam proses HPAL, digunakan untuk memproduksi nikel mixed hydroxide precipitate (MHP) melalui pelindian asam bertekanan tinggi. Untuk menghasilkan satu ton MHP atau nickel matte, dibutuhkan sekitar 10 hingga 15 ton sulfur.
Tren Harga Sulfur dan Permintaan Global
Menurut laporan Argus, harga sulfur global mulai meningkat sejak pertengahan 2024, dipicu oleh permintaan kuat dari negara-negara seperti Maroko dan Indonesia. Permintaan sulfur dari smelter HPAL Indonesia yang baru beroperasi, seperti di PT QMB New Energy Materials dan PT Halmahera Persada Lygend, menambah kebutuhan hingga sekitar 830.000 ton per tahun.
Harga sulfur Freight on Board (FoB) dari Timur Tengah naik drastis dari US$86 per ton pada tahun sebelumnya menjadi US$285,5 per ton per Mei 2025. Sementara itu, harga sulfur granular dengan biaya kirim (Cost on Freight/CFR) untuk Indonesia juga melonjak menjadi US$297 per ton dari sebelumnya US$185 per ton.
Tantangan Industri Nikel di Tengah Kenaikan Biaya dan Harga Nikel yang Stagnan
Sementara harga sulfur terus melonjak, harga nikel intermediate asal Indonesia masih berada pada kisaran US$12.000 hingga US$14.000 per ton sejak Januari 2024. Penurunan harga nikel global membuat margin laba smelter HPAL semakin menyempit. Perkiraan Argus menyebutkan margin laba kotor produk MHP turun dari US$10.000 per ton pada 2023 menjadi sekitar US$7.000 per ton pada 2024.
Harga nikel di London Metal Exchange (LME) pada penutupan terakhir tercatat di level US$15.011 per ton, turun tipis 0,03%. Kondisi ini mempersulit smelter HPAL untuk mempertahankan keuntungan di tengah lonjakan biaya bahan baku.
Perspektif Analis dan Masa Depan Smelter HPAL
Luigi Fan, analis dari SMM Information & Technology Co., menyatakan bahwa pabrik-pabrik HPAL mungkin akan menghadapi margin yang sangat tipis pada akhir tahun 2025 atau awal 2026. Namun, ia juga memprediksi jumlah produsen HPAL yang beroperasi bisa bertambah karena harga produk sampingan seperti kobalt masih cukup kuat.
Teknologi HPAL memang dianggap inovatif karena mampu mengekstraksi logam dari bijih nikel kadar rendah tanpa menggunakan tanur sembur seperti rotary kiln electric furnace (RKEF). Hal ini menjadikan Indonesia sebagai pusat pengolahan nikel terbesar di dunia, terutama didukung oleh investasi besar dari China dan fokus pada efisiensi biaya.
Namun, lonjakan harga sulfur yang belum mereda, ditambah tantangan pasar global yang cenderung oversupply, membuat industri pengolahan nikel harus berpikir keras untuk menjaga kelangsungan usaha dan memperkuat ketahanan rantai pasoknya.
Kenaikan harga sulfur yang mencapai tiga kali lipat dalam setahun terakhir menjadi tekanan utama bagi smelter HPAL di Indonesia, meningkatkan biaya produksi nikel hingga 57%. Di tengah harga nikel global yang stagnan, kondisi ini dapat mengancam profitabilitas dan operasional smelter. Para pelaku industri dan pemerintah perlu mencari solusi strategis untuk mengatasi volatilitas harga bahan baku dan menjaga daya saing industri nikel nasional yang menjadi salah satu tulang punggung ekonomi.