BCA Bangkit dari Krisis 1998 Jadi Bank Swasta Terbesar Asia Tenggara

Senin, 23 Juni 2025 | 08:13:50 WIB
BCA Bangkit dari Krisis 1998 Jadi Bank Swasta Terbesar Asia Tenggara

JAKARTA - Krisis moneter Indonesia tahun 1998 meninggalkan luka mendalam bagi sektor perbankan nasional. Runtuhnya kepercayaan terhadap sistem keuangan menyebabkan antrian panjang di kantor cabang, dan banyak bank mengalami kegagalan dalam menarik dana nasabah. Namun, di tengah kekacauan itu, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) berhasil tidak hanya bertahan, tetapi juga bangkit menjadi salah satu bank swasta terbesar di Asia Tenggara.

Pada tahun 2025, BCA mencatatkan nilai kapitalisasi pasar sebesar 75 miliar dolar AS, mengungguli Bank DBS Singapura yang berada di angka 60 miliar dolar. Keberhasilan ini sangat luar biasa mengingat pada akhir 1990-an BCA sempat masuk dalam pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan beberapa cabangnya menjadi sasaran amuk massa.

Kepemimpinan Jahja Setiaatmadja: Kunci Transformasi BCA

Sosok kunci di balik kebangkitan BCA adalah Jahja Setiaatmadja, yang telah menjadi bagian dari bank sejak 1990. Berawal sebagai wakil kepala divisi, Jahja naik pangkat menjadi direktur keuangan pada 1999, kemudian menjabat sebagai presiden direktur selama 14 tahun, dan sejak 2025 dipercaya sebagai presiden komisaris.

Dalam sebuah wawancara dengan Prof. Rhenald Kasali, Jahja mengungkapkan, “Ilmu itu penting, tapi networking bisa jadi 70% dari keberhasilan.” Ia mengaku awal kariernya tidak mudah, bahkan sempat menyewakan kaset video keliling untuk menambah penghasilan. Dari pengalaman itu, ia belajar pentingnya pendekatan humanis dan membangun jaringan.

Jahja menegaskan, filosofi utama kepemimpinannya adalah kolaborasi dan empati. “Saya tidak percaya Superman, tapi saya percaya pada Superteam,” ujarnya. Prinsip ini menjadi pondasi transformasi digital dan layanan pelanggan BCA, yang beralih dari sistem bank konvensional ke solusi transaksi digital yang cepat dan mudah.

Transformasi Digital Bertahap dengan Sentuhan Manusia

BCA melakukan transformasi digital secara bertahap mulai dari ATM, kartu debit, internet banking, hingga mobile banking dan kini BCA Digital. Jahja menekankan pentingnya menjaga pengalaman pelanggan tetap nyaman dan manusiawi.

“Teknologi boleh canggih, tapi tetap perlu sentuhan manusia,” katanya, menambahkan bahwa pelayanan di BCA bukan sekadar transaksi, melainkan juga edukasi pasar. Bahkan satpam di cabang dilatih menyambut dan membantu nasabah dengan ramah.

Strategi Pengelolaan Dana Murah

Salah satu keunggulan BCA adalah kemampuan mengelola dana murah (low-cost funding). Alih-alih bersaing dalam suku bunga tinggi, BCA mengubah paradigma tabungan sebagai alat transaksi, bukan sekadar mencari bunga tinggi. Strategi ini memberi likuiditas tinggi dan biaya dana rendah, memungkinkan penyaluran kredit kompetitif dengan risiko terkelola.

Agility dan Kesabaran: Kunci Bertahan di Masa Sulit

Jahja menegaskan, “Agility, itu kuncinya.” Perubahan teknologi, regulasi, dan gejolak global memaksa perusahaan untuk cepat beradaptasi. Ia memperingatkan, “Kalau keadaan berubah dan kita tidak berubah, kita yang akan dilibas.”

Namun, agility harus dibarengi kesabaran. Jahja mengaku butuh lima tahun untuk promosi setelah masuk BCA, meskipun awalnya dijanjikan dalam satu tahun. Waktu tersebut ia gunakan untuk memahami kultur perusahaan dan industri perbankan.

“Kalau saya anak muda yang tidak sabar, mungkin saya sudah pergi,” katanya. Menurutnya, kerja keras dan loyalitas adalah modal utama keberhasilan jangka panjang.

Kepemimpinan Berkelanjutan dan Kebijaksanaan

BCA memberikan ruang bagi pemimpin untuk tumbuh dan menjalankan visi jangka panjang, berbeda dengan beberapa BUMN yang mengalami pergantian pucuk pimpinan secara cepat dan politis.

“Satu hal yang sulit dicapai adalah wisdom. Itu tidak bisa dibeli, tidak ada bukunya. Harus dipraktikkan dan ditempa waktu,” ujar Jahja.

Posisi Strategis di ASEAN

BCA tidak berekspansi agresif ke luar negeri, tetapi fokus menguatkan posisi di pasar domestik dan kawasan ASEAN sebagai bank efisien dengan teknologi digital unggul serta layanan nasabah yang komprehensif.

Pandemi COVID-19: Mendorong Digitalisasi

Pandemi menjadi momentum penting bagi BCA. Banyak nasabah yang sebelumnya enggan menggunakan layanan digital, kini harus belajar memakai aplikasi demi kenyamanan dan keamanan.

Jahja menyatakan, “Saya selalu bilang ke tim, jangan hanya bangga fitur kita banyak. Kalau nasabahnya nggak pakai, ya percuma.” BCA memfokuskan edukasi pasar dengan pendekatan yang ramah dan mudah digunakan.

Sikap terhadap Tren FIRE dan Filosofi Kerja

Menanggapi tren anak muda yang mengidamkan FIRE (Financial Independence, Retire Early), Jahja mengingatkan pentingnya keseimbangan. “Kalau semua orang pensiun muda dan tidak berkontribusi, negara ini akan kehilangan energi produktifnya,” katanya.

Baginya, pekerjaan bukan hanya soal uang, tetapi juga kehormatan, makna, dan martabat. Uang seharusnya diputar untuk membuka lapangan kerja dan mendukung kegiatan produktif, bukan hanya untuk konsumsi pribadi.

Warisan Kepemimpinan Jahja

Kini sebagai presiden komisaris, Jahja menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada generasi berikutnya. Namun nilai-nilai kerja kolektif, kesederhanaan, fokus pada pelanggan, dan adaptasi tanpa kehilangan arah tetap menjadi warisan kuat di BCA.

Dari bank yang dulu dicap sebagai “Bank Capek Antri”, BCA kini menjadi simbol kepercayaan dan efisiensi. Kisahnya menjadi bukti bagaimana krisis bisa melahirkan pembaruan dan bagaimana institusi bisa tumbuh dengan kepemimpinan berbasis prinsip dan empati.

BCA membuktikan bahwa dengan kepemimpinan visioner dan adaptasi digital yang manusiawi, sebuah institusi dapat bangkit dari keterpurukan dan menjadi pemimpin pasar di tingkat regional.

Terkini