Jakarta - Industri asuransi kesehatan Indonesia kini menghadapi perubahan besar. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah merancang Rancangan Surat Edaran OJK (RSEOJK) tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan yang akan menetapkan sejumlah standar baru yang harus dipenuhi oleh perusahaan asuransi yang menawarkan produk ini. Tujuan utama dari regulasi ini adalah untuk meningkatkan kualitas pengelolaan risiko, transparansi, serta efisiensi dalam industri asuransi kesehatan, dengan memperkuat infrastruktur teknologi informasi (IT) dan sumber daya manusia (SDM), Rabu, 12 Maret 2025.
Pembaruan yang Harus Dipenuhi Perusahaan Asuransi
Salah satu poin penting dari RSEOJK ini adalah kewajiban bagi perusahaan asuransi kesehatan untuk memperbarui sistem informasi teknologi (IT) dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Di sisi SDM, perusahaan asuransi diwajibkan untuk memiliki Medical Advisory Board (MAB), yang berfungsi memberikan panduan dan pengawasan dalam proses underwriting dan klaim, guna memastikan ketepatan pembayaran klaim. Sementara itu, dari sisi teknologi, perusahaan harus memiliki sistem informasi yang dapat mendeteksi potensi fraud dalam klaim, yang diharapkan dapat membantu mengendalikan kenaikan biaya asuransi kesehatan.
Fauzi Arfan, Ketua Bidang Produk, Manajemen Risiko, dan GCG Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), menyambut baik langkah OJK ini. Menurut Fauzi, regulasi ini penting untuk meningkatkan kualitas pengelolaan risiko serta transparansi dalam industri asuransi kesehatan di Indonesia. Ia menjelaskan, “Kami memahami bahwa regulasi ini dirancang untuk meningkatkan kualitas pengelolaan risiko serta transparansi dalam industri asuransi kesehatan,” katanya dalam wawancara dengan Bisnis pada Selasa, 11 Maret 2025.
Fauzi juga menegaskan bahwa AAJI dan anggotanya telah memberikan masukan terkait kesiapan perusahaan dalam memenuhi persyaratan ini. “Kami menekankan pentingnya fase transisi dan kesiapan sumber daya, agar implementasi aturan ini dapat berjalan efektif tanpa menghambat operasional perusahaan asuransi,” tegasnya. Ia menilai bahwa keberadaan MAB akan sangat membantu dalam meningkatkan kualitas keputusan terkait underwriting dan klaim, yang pada gilirannya dapat mengurangi kesalahan dalam pembayaran klaim yang berpotensi meningkatkan inflasi medis.
Peran Teknologi dalam Mencegah Fraud
Selain peningkatan SDM, penerapan teknologi yang lebih canggih juga menjadi fokus utama dalam regulasi ini. Salah satunya adalah penggunaan sistem yang dapat mendeteksi fraud. Menurut Fauzi, penerapan sistem ini diharapkan dapat mengidentifikasi dan mencegah penyalahgunaan klaim yang dapat memperburuk inflasi medis, yang pada akhirnya meningkatkan biaya asuransi kesehatan bagi peserta.
“Penerapan sistem pendeteksi fraud berbasis IT dapat membantu mengidentifikasi dan mencegah potensi penyalahgunaan klaim yang dapat memperburuk kenaikan biaya asuransi kesehatan,” ujarnya.
Respon Positif dari Perusahaan Asuransi
Beberapa perusahaan asuransi kesehatan juga menyambut positif langkah regulator ini. Salah satunya adalah PT Asuransi Jiwa Generali Indonesia, yang melalui Head of Corporate Communications, Windra Krismansyah, menyatakan bahwa pihaknya sedang mempelajari dan berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait regulasi ini. Windra menambahkan, Generali Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mengelola risiko medis, termasuk memanfaatkan teknologi Artificial Intelligence (AI) dalam proses klaim untuk meminimalkan potensi fraud.
"Di Generali Indonesia sendiri, kami telah menerapkan berbagai langkah dalam pengelolaan risiko medis dan kami juga telah memanfaatkan teknologi artificial intelligence (AI) dalam proses klaim, untuk meminimalisir potensi fraud yang mungkin terjadi," ujar Windra. Ia juga mengungkapkan keyakinannya bahwa kebijakan ini akan mendorong industri untuk lebih siap dalam berbagai aspek, baik dari sisi SDM maupun teknologi, demi menciptakan sistem asuransi kesehatan yang lebih efisien dan berkelanjutan.
Persiapan Perusahaan Asuransi Lainnya
Tidak hanya Generali Indonesia, PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia (ACPI) juga sudah bergerak cepat dalam menyambut regulasi baru ini. Menurut Wakil Presiden Direktur ACPI, Nicolaus Prawiro, perusahaan mereka sedang melengkapi ketentuan yang diatur oleh OJK. ACPI kini telah memiliki tim medis internal serta dokter perusahaan yang berkompeten di bidang kesehatan, hingga bekerja sama dengan pihak ketiga untuk melakukan pemantauan klaim yang lebih akurat dan efektif.
Terkait dengan kewajiban MAB dalam regulasi OJK, ACPI akan bekerja sama dengan organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) untuk mempersiapkan MAB perusahaan mereka. Selain itu, ACPI juga sedang mengembangkan layanan analisis klaim berbasis AI, seperti Optical Character Recognition (OCR), yang dapat mempercepat proses klaim sekaligus mendeteksi potensi fraud.
Sistem Kolaborasi dengan Third Party Administrator (TPA)
Iwan Pasila, Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, menjelaskan bahwa perusahaan asuransi dapat bekerja sama dengan pihak ketiga, atau Third Party Administrator (TPA), untuk memenuhi ketentuan yang diwajibkan oleh regulasi ini. TPA merupakan entitas independen yang bekerja sama dengan perusahaan asuransi untuk mengelola administrasi dan klaim asuransi.
“Persyaratan fungsi ini wajib dimiliki oleh perusahaan asuransi yang ingin memasarkan asuransi kesehatan. Bagi yang tidak memiliki ketiga fungsi ini, dapat bekerja sama dengan perusahaan asuransi yang sudah memiliki atau dengan eksternal TPA yang memenuhi persyaratan ketiga fungsi ini,” jelas Iwan.