JAKARTA - Pasar saham Indonesia mengalami tekanan yang signifikan di awal tahun 2025. Berdasarkan laporan terbaru Bursa Efek Indonesia, kapitalisasi pasar mengalami penyusutan yang cukup mengkhawatirkan. Nilai kapitalisasi pasar turun hingga mencapai Rp935 triliun sejak awal tahun, setelah sebelumnya bertengger di angka Rp12.336 triliun pada akhir tahun 2024. Saat ini, kapitalisasi pasar tercatat sebesar Rp11.401 triliun, menurun sebesar 1,67% hanya dalam sepekan terakhir.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menjadi barometer utama pasar saham Indonesia juga menunjukkan performa yang lesu. Meskipun sempat mencatatkan kenaikan sebesar 0,38% dan mencapai level 6.638,45 pada penutupan perdagangan pekan terakhir, IHSG masih mengalami penurunan tajam sebesar 6,24% sepanjang tahun berjalan.
Pelemahan IHSG dan Kapitalisasi Pasar
Penurunan ini tidak terlepas dari isu global yang memengaruhi sentimen investor. VP Marketing, Strategy, and Planning dari Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi, menjelaskan bahwa pelemahan IHSG pada awal 2025 tidak terlepas dari aliran dana asing yang keluar dari pasar saham Indonesia. "Kami mencatat adanya nilai jual bersih atau net sell asing sebesar Rp10,51 triliun. Kondisi ini dipengaruhi oleh sentimen kebijakan moneter dari Ketua The Fed, Jerome Powell, yang sinyalkan pemangkasan suku bunga yang lebih hati-hati pada tahun ini," ucap Audi.
Nasib kurang bersahabat juga dialami oleh saham-saham berkapitalisasi besar atau big caps seperti BBCA dan BREN. Saham-saham ini terlihat mengalami koreksi yang cukup dalam, sehingga turut berkontribusi pada penurunan kapitalisasi pasar secara keseluruhan.
Pengaruh Kebijakan Global
Kondisi pasar yang volatil ini juga turut diperburuk oleh kebijakan ekonomi internasional, khususnya dari Amerika Serikat. Presiden Donald Trump kembali mengumumkan pengenaan tarif impor 25% untuk baja dan aluminium. Kebijakan ini dikhawatirkan meningkatkan ketidakpastian ekonomi global, seperti yang diungkapkan Audi.
Liza Camelia Suryanata, Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia, menambahkan bahwa kebijakan perdagangan AS yang dipimpin oleh Trump turut memicu sentimen negatif di pasar global. "Kebijakan yang diterapkan terhadap Kanada, Meksiko, dan China menambah ketidakpastian. Apa lagi dengan adanya penundaan tarif untuk Kanada dan Meksiko, kondisi ini semakin membingungkan investor," ujar Liza.
Dampak di Sektor Domestik
Tidak hanya dari faktor eksternal, kondisi ekonomi makro Indonesia juga memberikan tekanan terhadap pasar saham. Pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai dengan asumsi makro 2024, meskipun masih di level 5%, serta adanya tanda-tanda deflasi, turut menjadi faktor pembebanan indeks. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan investor melakukan rebalancing portofolio dan cenderung menghindari risiko dengan beralih ke aset yang lebih aman.
Detail Penyusutan Kapitalisasi Big Caps
Beberapa saham big caps yang mengalami penyusutan kapitalisasi pasar di antaranya adalah PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) dan PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN). Penurunan kapitalisasi BBCA mencapai Rp27 triliun, sementara BREN mengalami penurunan yang lebih besar mencapai Rp33 triliun.
Saham BBCA, meskipun mengalami penurunan, masih menunjukkan kapitalisasi pasar yang cukup tinggi, yakni Rp1.095 triliun. Namun, harga sahamnya melemah sebesar 6,2% sejak awal tahun. Sedangkan BREN, yang menghadapi penurunan kapitalisasi lebih besar dari Rp1.240 triliun menjadi Rp823 triliun, mengalami penurunan harga saham sebesar 29,11%.
Di sisi lain, ada beberapa saham yang sempat mengalami kenaikan, seperti PT Bayan Resources Tbk. (BYAN) di awal periode Januari 2025. Namun, tren positif ini tidak bertahan lama dengan kembali menyusutnya kapitalisasi menjadi Rp674 triliun.
PT Chandra Asri Pacific Tbk. (TPIA) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) juga tidak luput dari sentimen negatif pasar. Kedua emiten ini sama-sama menghadapi penurunan kapitalisasi pasar masing-masing menjadi Rp603 triliun dan Rp579 triliun.
Prediksi dan Antisipasi ke Depan
Melihat kondisi pasar saat ini, pengamat sekuritas menyarankan agar investor bersikap lebih hati-hati dalam mengambil keputusan investasi. Menghadapi ketidakpastian ekonomi global dan domestik, memilih aset dengan risiko rendah bisa menjadi langkah yang bijak.
"Mengingat volatilitas pasar yang tinggi, investor perlu lebih cermat mengevaluasi portofolionya. Memprioritaskan aset yang tahan terhadap guncangan ekonomi bisa menjadi pilihan yang masuk akal," tutup Liza.
Ke depan, diharapkan adanya stabilitas kebijakan ekonomi, baik dari pemerintah Indonesia maupun dari negara-negara mitra dagang, untuk mengurangi ketidakpastian di pasar. Sebagai pelaku pasar, investor tentunya berharap upaya ini dapat mengembalikan kondisi pasar saham ke jalur pertumbuhan yang lebih baik dan stabil.